DPR , Pejabat Negara , Pilkada mencari orang pilihan tidaklah mudah. Untuk menduduki jabatan publik, seseorang harus lolos uji kelayakan dan kepatutan (Fit and Proper Test) . Untuk memangku jabatan politik, seperti anggota Dewan yang terhormat, pada masa lalu orang mesti melewati lembaga penelitian khusus yang lazim disebut LITSUS.
Lembaga Litsus sempat menjadi momok karena nasib seseorang hanya ditentukan subjektivitas pemegang otoritas Litsus. Otoritas itu berada dalam genggaman tentara. Litsus sudah dihapuskan, tapi semangatnya masih berserakan di alam reformasi ini, termasuk dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal itu menyangkut syarat yang harus dipenuhi seorang bakal calon anggota legislatif (caleg). Sedikitnya terdapat 27 syarat yang harus dipenuhi caleg. Dari syarat terukur hingga ketentuan yang amat sangat abstrak.
Persyaratan yang bisa diukur, misalnya, caleg adalah warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun atau lebih. Syarat yang abstrak seperti kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, serta cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Alat ukur kesetiaan sejauh ini belum ada.
Tugas memverifikasi persyaratan untuk calon anggota DPR berada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, tujuh anggota KPU harus memeriksa kelengkapan administrasi dari puluhan ribu caleg.
Ada 77 daerah pemilihan untuk 560 kursi DPR pada Pemilu 2009. Jika 34 partai peserta pemilu mengikuti ketentuan Pasal 54 UU Pemilu–yaitu daftar bakal calon memuat paling banyak 120% jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan–jumlah caleg mencapai 22.848 orang. Pertambahan jumlah caleg itu mencapai sekitar empat kali lipat dari Pemilu 2004 yang cuma 6.044 orang.
Seluruh caleg itu harus mendapatkan surat tidak tersangkut perkara pidana dari kepolisian atau surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). Semula, Mabes Polri bersikeras agar SKCK untuk caleg DPR dipusatkan di Jakarta. Sentralisasi pengurusan SKCK tidak cuma inefisiensi dan berbiaya mahal, tetapi juga mengingkari semangat desentralisasi di era otonomi daerah.
Setelah diprotes partai politik, sikap Mabes Polri melunak. SKCK akhirnya boleh diurus di kantor polisi di daerah hingga yang terendah di tingkat kepolisian resor (polres). Perubahan sikap Mabes Polri itu patut diberi apresiasi.
Meski demikian, keberadaan SKCK masih menyisakan tanda tanya besar. Selama ini, kepolisian hanya berurusan dengan pidana umum, sedangkan kewenangan pidana khusus seperti korupsi ada di tangan kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Apakah kepolisian menyimpan file caleg yang terkait dengan tindak pidana khusus? Mestinya, surat keterangan terkait tidak tersangkut tindak pidana itu dikeluarkan pengadilan. Sebab baik pidana umum maupun pidana khusus bermuara di pengadilan.
Bukan rahasia lagi, perilaku koruptif merasuk sebagian anggota DPR yang sedang menjabat. Padahal, dulu pada saat pencalonan, mereka juga mengurus tetek bengek persyaratan menjadi anggota dewan. Akan tetapi, pemenuhan syarat formal pencalonan sama sekali tidak menjamin menghasilkan anggota DPR yang baik.
Penelitian khusus (Litsus) syarat formal caleg belumlah cukup. Litsus sesungguhnya berada di tangan rakyat dalam bilik suara nanti. Memeriksa rekam jejak caleg sebelum memilih mutlak dilakukan jika menginginkan wakil rakyat yang merakyat. Inilah saatnya rakyat melitsus caleg.
|