Genderang perang iklan politik sudah ditabuh, terdengar dan nampak di depan mata kita, seluruh media massa (TV, radio, koran,majalah, internet) bahkan di jalan-jalan di tengah kota sampai pelosok Desa yang semestinya rindang oleh indahnya pepohonan kini tertutupi lebarnya baliho iklan politik. Sedih atau senagkah Anda.....?.
Saat saya dan keluarga jalan-jalan ada sebuah baliho besar berdiri di pinggir jalan sebuah kota. Menutupi papan nama jalan dan menutupi rimbunnya pohon di dekatnya yang sudah berumur sepuluh tahun. Baliho itu berisi foto setengah badan seorang caleg dan bertuliskan "Wakil Anda dari Dapil X Kota S".
Sungguh hebat caleg itu. Begitu beraninya mengaku sebagai wakil rakyat dari wilayah tertentu. Padahal, jika jujur, boleh jadi sang caleg itu tidak tahu siapa nama-nama camat dan lurah di wilayah daerah pemilihan tersebut. Apalagi nama ketua RW dan RT, pasti sama sekali tidak tahu. Namun, inilah wajah politik kita, khususnya cara politisi dan tim suksesnya melakukan marketing politik. Melalui iklan, baik di media massa maupun di media luar ruang (baliho dan spanduk),
Mereka lebih menawarkan dirinya (ego) ketimbang menawarkan program yang dipikirkannya bagi kepentingan rakyat.Dampak Iklan Iklan politik, baik di media massa maupun media lain, adalah bagian dari political marketing. Tujuannya memasarkan cita-cita politik guna memperoleh dukungan dari pemilih. Tetapi, realitas yang terjadi, iklan yang dipublikasikan itu acap cenderung berisi personality caleg. Bukan rencana-rencana yang bakal dikerjakan manakala dia terpilih. Yang terjadi ialah pesan-pesan yang bersifat narsis, yang membagus-baguskan dirinya sendiri.
Kenarsisan caleg yang beriklan seperti itu menunjukkan cara pintas mencari dukungan suara baginya. Padahal, dalam pemasaran politik terdapat sejumlah konsekuensi yang dihasilkannya. Dalam perspektif ilmu komunikasi, iklan merupakan sebuah tindakan mentransfer informasi. Secara fungsional, transfer informasi itu diharapkan agar orang lain (publik) mengetahui pesan atau makna informasi tersebut. Hanya, tindakan berkomunikasi bersifat dua arah (dyadic). Artinya, orang lain tidak serta merta dianggap kambing congek yang mudah diarahkan dengan makna informasi yang dibingkai dalam iklan tersebut.
Iklan juga menyimpan potensi dampak yang sifatnya disfungsional, yang berbeda atau malah berlawanan dari tujuan pengaruh yang diharapkan. Karena itu, iklan bisa memiliki dampak beragam. Iklan bisa membuat orang mendukung, orang berpikir, orang menolak mentah-mentah, atau mengabaikan sama sekali. Bukan Segalanya Dalam upaya meraup dukungan suara, iklan itu penting. Tetapi, iklan bukan segala-galanya. Sebab, fungsi iklan itu pada dasarnya hanya pada tataran "diketahui" belaka. Amat jauh dari keputusan seseorang untuk membuat keputusan memilih.
Proses transfer informasi lazimnya melalui beberapa tahap, sebelum pesan informasi itu diikuti penerima informasi (pemilih). Iklan sebagai pembawa informasi, pertama harus dilihat atau didengar (atau keduanya - audiovisual). Kedua, apakah pesan itu bisa dipahami. Ketiga apakah pesan itu disetujui. Baru setelah pesan itu diterima (dilihat atau didengar), kemudian mudah dipahami, serta kemudian disetujui; maka iklan itu berpotensi untuk diikuti.Jika iklan politik itu hanya menebar pesan "coblos atau contreng X no urutan S", bisa diduga hasilnya hanya berada pada tataran diketahui. Itu pun kalau publik memperhatikannya.
Di tengah arus iklan politik yang meluber seperti sekarang ini, tampaknya akan terjadi pengabaian atas pesan yang dibangun iklan politik.Namun, sekali lagi, bukan berarti iklan politik tidak penting. Iklan politik penting dan harus ada. Persoalannya, bagaimana membuat iklan itu memiliki daya tarik yang bisa menyedot perhatian publik. Dalam banyak pengalaman, iklan yang menarik itu adalah iklan yang memiliki keunggulan dibanding iklan yang lain. Nah, untuk membuat berbeda, tentu saja memerlukan proses kreatif.
Jika iklan hanya menggunakan pesan model jalan pintas, langkah itu hanya akan mengeluarkan biaya sia-sia.Banyak alternatif pendekatan dalam membuat sesuatu yang berbeda dari sebuah iklan. Mulai pendekatan isi (content), atribusi, dan sebagainya hingga pendekatan spin-doctor (menggunakan tokoh berpengaruh). Cara-cara semacam itu memiliki plus minus sendiri-sendiri.
Base on Riset Taburan iklan politik sekarang ini merupakan kemajuan pesat dalam konteks proses pemilihan anggota legislatif. Paling tidak, kini publik menjadi lebih tahu calon-calon yang bakal dipilihnya (walau hanya foto diri dan bukan kualitas sebagai sosok wakil rakyat). Beriklan politik adalah sah-sah saja. Tetapi, hendaknya caleg merumuskan cara beriklannya agar bisa terpilih. Satu hal yang sering diabaikan dalam beriklan politik ialah tiadanya proses kajian atau riset awal sebelum membuat keputusan iklan. Begitu juga tiadanya evaluasi atas praktik beriklannya.
Para caleg beriklan lebih disebabkan harapan berlebihnya bahwa dirinya menjadi sosok berpengaruh. Padahal, justru publiklah yang bakal memengaruhi caleg itu dipilih atau tidak. Fenomena iklan politik sekarang ini mengesankan caleg memaksa publik untuk melihat atau mendengar, serta mengikuti anjuran dirinya. Mestinya sebaliknya, dengarkanlah keinginan mereka, baru kemudian penuhilah apa yang dia harapkan, walau hanya melalui pesan iklan.