Di tengah kontroversi masalah pelaksanaan ujian nasional (unas), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencoba menawarkan parbaikan. Setidaknya, ada dua hal penting yang bisa dicatat. Pertama, Mendiknas M. Nuh menandaskan bahwa unas bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa. Selain unas, ujian yang dilakukan sekolah ikut menjadi penentu.
Kedua, Depdiknas mengupayakan agar hasil unas bisa kredibel. Caranya, dengan menambah porsi keterlibatan perguruan tinggi dalam pelaksanaan unas. Dalam Unas 2010 nanti, pengawas dari perguruan tinggi diperbolehkan mengawasi di dalam ruang ujian. Selain itu, pencetakan soal unas dan pendistribusiannya dilakukan perguruan tinggi.
Cara lainnya, guru mata pelajaran tertentu tidak boleh menjadi pengawas ketika mata pelajaran yang diampunya sedang di-unas-kan. Kita tentu patut memberikan apresiasi terhadap upaya perbaikan Depdiknas itu. Tawaran pertama, agaknya, dimaksudkan untuk menjawab persoalan selama ini bahwa unas adalah penentu mutlak kelulusan siswa. Hal ini secara nyata telah menimbulkan dampak tidak baik. Banyak siswa yang dikenal cukup pandai gagal meraih kelulusan unas gara-gara nilai salah satu mata pelajaran yang di-unas-kan jeblok.
Kenyataan itu ironis. Sebab, kelulusan siswa hanya ditentukan oleh momen unas yang hanya beberapa menit. Padahal, bisa jadi, kegagalan tersebut hanya dipicu persoalan yang kebetulan muncul tepat pada saat unas dilakukan.
Persoalan lainnya, dengan menjadikan unas sebagai penentu utama kelulusan, ada pengabaian atas kemampuan di luar mata pelajaran yang di-unas-kan. Padahal, seperti diyakini mayoritas ahli pendidikan, kemampuan yang seharusnya dikuasai anak didik bukan hanya mata pelajaran yang di-unas-kan. Itu hanya masuk pada ranah kognitif. Ada kemampuan afektif dan psikomotorik yang sama pentingnya.
Adapun tawaran kedua (memperketat pelaksanaan unas) lebih dimaksudkan untuk menjawab indikasi adanya kecurangan selama ini. Sebab, gara-gara kecurangan tersebut, kredibilitas unas merosot tajam.
Jika dicermati, tentu tawaran yang pertama lebih substantif dan mendasar daripada tawaran kedua. Karena itu, kita mendorong agar hal tersebut tidak mengalami problem di tingkat pelaksanaan. Departemen Pendidikan Nasional harus merumuskan sistem yang menjamin konsep dan pelaksanaan tidak akan timpang.
Jujur, kendati kita menyambut baik upaya itu, keraguan belum bisa dienyahkan. Terlalu banyak suguhan di republik ini yang menyajikan adonan yang tidak klop antara konsep dan pelaksanaan.
Bersamaan dengan itu, pembenahan pendidikan secara keseluruhan juga harus dilakukan. Sebab, pada hakikatnya, persoalan unas merupakan cermin persoalan pendidikan nasional secara keseluruhan. Ketidakjujuran, misalnya. Patut dicurigai bahwa hal itu tidak semata-mata dipicu dan terjadi karena adanya unas. Namun, memang ada krisis kejujuran yang melanda sebagian pendidik di negeri ini. Itu tentu tidak berdiri sendiri. Tapi, tumbuh dan berkembang seiring dengan krisis kejujuran yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini.
Artinya, bila persoalan krisis kejujuran tidak bisa diatasi, sistem apa pun yang diterapkan tidak akan tepat sasaran. Oleh karena itu, seiring dengan perbaikan sistem, perbaikan moral juga harus dilakukan. Dunia pendidikan memang harus memulai. Sebab, dari dunia pendidikanlah, perubahan besar diharapkan bisa terjadi. Mendiknas M. Nuh yang selama ini dikenal sebagai sosok lurus dan progresif diharapkan bisa menorehkan hal tersebut.