Sejumlah calon wakil rakyat masih risau dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 yang akan menjadi dasar hukum pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kerisauan mereka tergambar dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon yang menggugat UU itu adalah Muhammad Sholeh (calon anggota DPRD Jawa Timur periode 2009-2014 untuk daerah pemilihan I Surabaya-Sidoarjo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Sutjipto (calon anggota DPR dari Partai Demokrat), Septi Notariana (calon anggota DPR dari Partai Demokrat), dan Jose Dima Satria (calon pemilih 2009).
Menurut Sholeh, penetapan calon legislatif berdasarkan nomor urut tidak memberikan perlakuan yang sama di depan hukum antara calon legislatif bernomor urut besar dan calon legislatif bernomor urut kecil. ''Padahal, pemilihan presiden dan kepala daerah mendasarkan pada suara terbanyak. Kini tinggal pemilu legislatif saja yang kewenangan partai politik tidak mau dilepaskan,'' papar Sholeh di gedung MK kemarin.Pemohon lain, Sutjipto, menambahkan, pemerintah sebenarnya setuju dengan sistem suara terbanyak. Hanya, karena kalah suara di DPR, maka pemerintah harus mengalah dengan masuknya sistem nomor urut.
Dia juga menyayangkan tak hadirnya Mendagri. Selain itu, Sholeh juga menggugat pasal 55 ayat (2) dan pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang bertentangan dengan pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3), serta pasal 281 ayat (2) UUD 1945. ''Pasal 55 memperlihatkan arogansi dan diskriminasi yang membedakan antara caleg laki-laki dan perempuan,'' katanya.
Sholeh melanjutkan, perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama di depan hukum maupun dalam pemerintahan, termasuk juga dalam bidang politik. ''Untuk itu, tidak perlu ada penomoran zig-zag dalam penyusunan daftar nama caleg antara laki-laki dan perempuan.
Idealnya, tambah Sholeh, memang perempuan pun berpolitik, tetapi tidak boleh ada keistimewaan yang akhirnya justru menimbulkan diskriminasi.Namun, menurut Komisioner Komnas Perempuan M.S. Sjamsiah Achmad, suara terbanyak akan merugikan perempuan. ''UU Pemilu Legislatif sudah memberikan keuntungan kepada perempuan, yakni di setiap tiga nomor urut caleg harus diisi oleh perempuan,'' terangnya. Sjamsiah menilai hanya sedikit perempuan yang bisa berkampanye di mana-mana seperti lelaki. ''Di samping itu, peraturan perundang-undangan juga kadang membatasi gerak perempuan,'' paparnya.
Menanggapi hal tersebut, staf ahli Depdagri Agung Mulyana mengatakan, penempatan calon perempuan secara zig-zag (satu calon perempuan di setiap tiga calon anggota) dalam daftar calon anggota legislatif merupakan bentuk perlindungan terhadap hak politik perempuan. Sebagai pembanding, lanjutnya, data keterwakilan perempuan dalam partai politik di Prancis ditetapkan 50 persen, Argentina 30 persen, Bangladesh 30 persen, dan Pakistan 33 persen. ''Jadi, penempatan wanita yang selama ini termarginalisasi dan terdiskriminasi sudah diatur di UU,'' katanya. Sementara itu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Gusti Putu Artha mengakui, penetapan caleg berdasar suara terbanyak akan meminimalisasi risiko protes masyarakat. ''Namun, KPU tetap menjalankan penyelenggaraan pemilu sesuai dengan UU,'' kata Artha.